• Ada Yang Tau Sosrokartono



    Kaum bangsawan di Belanda menjulukinya Pangeran dari Tanah Jawa. Raden Mas
    Panji Sosrokartono, kakak R.A. Kartini, selama 29 tahun, sejak 1897,
    mengembara ke Eropa. Ia bergaul dengan kalangan intelektual dan bangsawan
    di sana. Mahasiswa Universitas Leiden itu kemudian menjadi wartawan perang
    Indonesia pertama pada Perang Dunia I.
    Di Indonesia, Sosrokartono mendirikan sekolah dan perpustakaan. Ia juga
    membuka rumah pengobatan Darussalam di Bandung. Tempo menelusuri jejak
    sang intelektual dan spiritualis ini dari orang-orang yang pernah
    bersinggungan dengan Sosrokartono, juga dari berbagai bukunya, termasuk
    surat- surat Kartini dan adik-adiknya, dan dari naskah pidatonya yang
    masih tersimpan di Leiden.
    Selama 29 tahun ia hidup melanglang Eropa. Di Bandung ia mendirikan
    perpustakaan, rumah pengobatan, dan dicap komunis.

    FOTO hitam putih seukuran kartu pos itu masih ia simpan rapi. Saat itu
    Kartini Pudjiarto masih delapan tahun. Ia bersama ibunya RA Siti Hadiwati
    dan kakeknya PAA Sosro Boesono berfoto bersama RM Panji Sosrokartono di
    rumah pengobatan Darussalam di Jalan Pungkur 7, Bandung, milik
    Sosrokartono.
    Sosrokartono (1877-1952) adalah adik kandung Boesono. Keduanya adalah
    kakak RA Kartini, pahlawan emansipasi wanita yang setiap tanggal 21 April
    selalu dirayakan di seluruh pelosok Indonesia. Mereka adalah anak Bupati
    Jepara Raden Mas Adipati Ario Samingoen Sosroningrat untuk periode
    1880-1905 dari perkawinannya dengan Ngasirah. Pasangan ini memiliki
    delapan anak.
    Foto yang menjadi koleksi tak ternilai Kartini Pudjiarto itu dipotret pada
    1950, dua tahun menjelang Sosrokartono wafat. Eyang Sosro, begitu Kartini
    memanggil, duduk di sebuah kursi. “Eyang Sosro lebih sering duduk di
    kursi, karena separuh tubuhnya sudah lumpuh,” ucapnya kepada Tempo pekan
    lalu.
    Ia masih ingat, setiap kali berkunjung ke rumah panggung yang dindingnya
    terbuat dari bambu itu, ia selalu dicium dan diusap kepalanya. Eyang Sosro
    sering berpuasa. Jika tak berpuasa, ia jarang makan. “Eyang sering hanya
    minum air kelapa,” tutur Kartini.
    Meski separuh lumpuh, Kartono–begitu RA Kartini dan adik-adiknya
    memanggil–masih menerima ratusan tamu yang datang dengan berbagai
    kepentingan, mulai dari sekadar meminta nasihat, belajar bahasa asing,
    hingga mengobati berbagai macam penyakit.
    Pada setiap pengobatan, Kartono biasanya memberikan air putih dan secarik
    kertas bertulisan huruf Alif (singkatan dari Allah) kepada pasien. Kartini
    Pudjiarto masih menyimpan lukisan sederhana berbingkai kayu yang berisi
    goresan Alif di kertas putih pemberian Eyang Sosro. “Katanya buat
    jaga-jaga,” ujar Kartini.
    Ada pula secarik kertas putih yang berisi nasihat Eyang Sosro bertulisan
    “Sugih tanpa banda / Digdaya tanpa aji / Nglurug tanpa bala / Menang tanpa
    ngasorake” (Kaya tanpa harta/ Sakti tanpa azimat/ Menyerbu tanpa pasukan/
    Menang tanpa merendahkan yang dikalahkan) yang ditempel dengan selotip di
    dinding. Ia juga menyimpan tongkat Kartono, yang merupakan jatah warisan
    keluarga yang dibagi-bagi setelah sang eyang meninggal.
    Air putih, huruf Alif, nasihat-nasihat hidup yang ia tulis dalam bahasa
    Jawa, dan laku berpuasa berhari-hari, adalah bagian dari “wajah mistik”
    Sosrokartono, orang Indonesia pertama yang terjun ke medan peperangan di
    Perang Dunia I di Eropa sebagai wartawan. Selama 29 tahun, Sosrokartono
    lebih dikenal sebagai seorang intelektual yang disegani di Eropa. Ia kerap
    dipanggil dengan sebutan De Javanese Prins (Pangeran dari Tanah Jawa) atau
    De Mooie Sos (Sos yang Tampan).
    Ia mengembara ke beberapa negara. Mula-mula ia belajar di Delft, Belanda,
    lalu pindah ke Universitas Leiden, bergaul dengan kalangan bangsawan
    Eropa, kemudian menjadi wartawan perang. Ia juga pernah menjadi staf
    Kedutaan Besar Prancis di Den Haag, bahkan sempat menjadi penerjemah untuk
    Liga Bangsa-Bangsa. Kartono pada akhirnya memutuskan
    pulang ke Indonesia mendirikan perpustakaan dan sekolah. Seperempat abad
    sisa umurnya kemudian ditambatkan sebagai seorang spiritualis.
    Pramoedya Ananta Toer dalam Panggil Aku Kartini Saja (Hasta Mitra,
    Jakarta, 1997) menggambarkan kelebihan Kartono sebagai spritualis itu.
    Pram mengutip kesaksian seorang dokter Belanda di CBZ (kini RS Dr Cipto
    Mangunkusumo, Jakarta) pada 1930-an. Ia menyaksikan Kartono menyembuhkan
    wanita melahirkan yang menurut para dokter tak tertolong lagi, tapi sembuh
    setelah minum air putih yang diberikan Kartono.
    Suryatini Ganie, cucu RA Sulastri Tjokrohadi Sosro, kakak seayah
    Sosrokartono, menggambarkan kelebihan Kartono yang juga kakeknya itu
    sebagai orang yang mudah sekali menebak pikiran orang. Menurut pengarang
    buku Resep-resep Kartini ini, Eyang Sosro cenderung menyendiri, jauh di
    Bandung, dibanding berkumpul dengan keluarga yang tersebar di Jawa Tengah.
    Rumah pengobatan Pondok Darussalam milik Sosrokartono merupakan rumah
    panggung yang terbuat dari kayu dengan dinding bambu. Rumah itu dibangun
    memanjang membentuk huruf L sepanjang Jalan Pungkur. Bangunan itu tepat
    berada di depan terminal angkutan kota Kebun Kelapa sekarang.
    Kini bangunan itu sudah tidak ada lagi. Penghuninya sudah berganti, begitu
    juga nomor rumahnya, yang sudah memakai nomor baru yang dipakai sejak
    1960-an. Pemilik ruko yang menempati Jalan Pungkur 3, 5, 7, 9 ketika
    ditanya tidak tahu bahwa di jalan itu pernah ada pondok pengobatan milik
    Sosrokartono. Mendengar cerita Kayanto, pondok
    pengobatan milik Kartono diperkirakan menempati deretan bangunan yang kini
    sudah berubah menjadi toko listrik, swalayan di Gedung Mansion, serta
    sebuah apotek yang terletak di sudut Jalan Pungkur dan Jalan Dewi Sartika.
    Kayanto Soepardi, 63 tahun, putra seorang asisten Sosrokartono, masih
    ingat: Darussalam tak pernah sepi. Tamunya mulai dari orang Belanda,
    pribumi, hingga Cina peranakan. Ia pernah melihat Bung Karno datang
    menemui Kartono. Saat itu Kartono menggoreskan huruf Alif di atas kertas
    putih seukuran prangko dan menyelipkannya ke dalam peci Bung Karno,
    entah untuk apa. Bung Karno pula, menurut penuturan ayahandanya, kerap
    datang untuk belajar bahasa kepada Sosrokartono.
    Kartono, menurut Kayanto, tidak pernah lepas dari sebuah tongkat, beskap
    berwarna putih lengan panjang, sebuah topi (mirip mahkota) warna hitam,
    dan mengalungkan tasbih yang menggantung hingga dadanya. Janggutnya
    sebagian sudah memutih, sorot matanya tajam, dan lebih banyak diam.
    Darussalam, selain menjadi rumah pengobatan, juga sebuah perpustakaan.
    Kartono dalam suratnya kepada Abendanon pada 19 Juli 1926 (Surat- surat
    Adik R.A. Kartini terbitan PT Djambatan 2005) menceritakan selain
    mendirikan perpustakaan Panti Sastra di Tegal bersama adiknya, RA
    Kardinah, ia juga mendirikan perpustakaan di Bandung. “Perpustakaan ini
    tidak disebut dengan nama yang lazim melainkan merupakan lambang dari
    suatu pengertian baru, suatu cita-cita baru. Namanya Darussalam, yang
    berarti rumah kedamaian,” tulis Kartono.
    Buku-buku perpustakaan itu disumbang oleh dua orang insinyur perusahaan
    kereta api Staats Spoorwegen, tiga orang partikelir bangsa Belanda, dua
    orang wanita Belanda, tiga orang Jawa, dan seorang Tionghoa. “Semboyannya
    tanpo rupo tanpo sworo, yang berarti tidak berwarna, tiada perbedaan,
    tiada perselisihan,” ucap Kartono.
    Budya Pradipta, Ketua Paguyuban Sosrokartanan Jakarta dan dosen tetap
    bahasa, sastra, dan budaya Jawa Fakultas Sastra Universitas Indonesia,
    mengatakan Darussalam adalah bekas gedung Taman Siswa Bandung. Kartono
    diminta menempati gedung itu oleh RM Soerjodipoetro, adik Ki Hajar
    Dewantara. “Eyang Sosro di sana karena diminta menjadi pimpinan Nationale
    Middelbare School (Sekolah Menengah Nasional) milik Taman Siswa,” ujar
    Budya.
    Di perpustakaan inilah tokoh pergerakan Indonesia sering berkumpul,
    termasuk Ir Soekarno. Bung Karno juga diminta mengajar di sekolah itu
    bersama Dr Samsi dan Soenarjo SH. Gedung ini juga dipakai oleh Partai
    Nasional Indonesia dan Indonesisch Nationale Padvinders Organisastie
    pimpinan Abdoel Rachim, mertua Bung Hatta.
    Kepeloporan Kartono sebagai tokoh pendidikan inilah yang hendak dikenang
    Sukadiah Pringgohardjoso, mantan Duta Besar RI untuk Denmark (1981-1984).
    Sukadiah kini aktif sebagai pembina Yayasan Pendidikan Anak Sehat
    Sosrokartono di Cengkareng Barat, Jakarta. Yayasan ini didirikan oleh
    Sosrohadikusumo, anak dari Soematri Sosrohadikusumo–adik Kartono. “Kami
    lebih mementingkan hal-hal konkret: mendidik anak sesuai dengan
    keinginan beliau dan mengentaskan kemiskinan,” ujar Sukadiah.
    Kartono tak pernah beku. Di Belanda, selain kuliah, ia menjadi koresponden
    liputan Perang Dunia I untuk koran The New York Herald, cikal bakal The
    New York Herald Tribune. Agar bisa lebih masuk ke kancah perang, ia
    menerima pangkat mayor dari tentara Sekutu, tapi menolak dipersenjatai.
    Salah satu keberhasilan Kartono sebagai wartawan adalah
    ketika berhasil memuat hasil perjanjian rahasia antara tentara Jerman yang
    menyerah dan tentara Prancis yang menang perang (Baca: Wartawan Mooie dari
    Hindia Belanda).
    Sebagai koresponden perang, tulis Mohammad Hatta dalam Memoir, Kartono
    bergaji US$ 1.250 sebulan. “Dengan gaji sebanyak itu, ia dapat hidup
    sebagai seorang miliuner di Wina. Menurut cerita ia bergaul dalam
    lingkungan bangsawan,” tulis Hatta.
    Kartono, intelektual yang menguasai 17 bahasa asing itu, mudah diterima
    kalangan elite di Belanda, Belgia, Austria, dan bahkan Prancis. Ia
    berbicara dalam bahasa Inggris, Belanda, India, Cina, Jepang, Arab,
    Sanskerta, Rusia, Yunani, Latin. Bahkan, “Ia juga pandai berbahasa
    Basken (Basque), suatu suku bangsa Spanyol,” kata Hatta.
    Dengan pengetahuan dan kecakapan berbahasa itu, Kartono memberanikan diri
    menemui Gubernur Jenderal W. Rooseboom pada 14 Agustus 1899, sebelum
    berangkat ke Batavia untuk memangku jabatannya yang baru. Solichin Salam
    dalam Drs. RMP Sosrokartono, Sebuah Biografi (terbitan Yayasan Pendidikan
    Sosrokartono, 1979) menyebutkan, dalam pertemuan
    tersebut Kartono meminta kepada Rooseboom untuk benar-benar memperhatikan
    pendidikan dan pengajaran kaum pribumi di Hindia Belanda.
    Profesor Dr J.H.C. Kern, dosen pembimbingnya di Universitas Leiden,
    kemudian mengundang Kartono untuk menjadi pembicara dalam Kongres Bahasa
    dan Sastra Belanda ke-25 di Gent, Belgia, pada September 1899. Dalam
    kongres yang membicarakan masalah bahasa dan sastra Belanda di pelbagai
    negara itu, Sosrokartono mempersoalkan hak-hak kaum pribumi di Hindia
    Belanda yang tak dipenuhi pemerintah jajahan.
    Dalam pidato berjudul Het Nederlandsch in Indie (Bahasa Belanda di
    Indonesia), Kartono antara lain mengungkapkan: “Dengan tegas saya
    menyatakan diri saya sebagai musuh dari siapa pun yang akan membikin kita
    (Hindia Belanda) menjadi bangsa Eropa atau setengah Eropa dan akan
    menginjak-injak tradisi serta adat kebiasaan kita yang luhur lagi suci.
    Selama matahari dan rembulan bersinar, mereka akan saya tantang!”
    Keluhuran tradisi itulah yang menurut Kartono mesti dipertahankan
    orang-orang pribumi di mana saja berada. Dengan cakrawala pengetahuan yang
    terbuka–Kartono meminta pemerintah jajahan agar bahasa Belanda dan bahasa
    internasional lain diajarkan di Hindia Belanda–kaum pribumi bisa
    mempertahankan kemuliaan tradisi dan harga diri mereka.
    Setelah 29 tahun melanglang Eropa sejak 1897, pangeran tampan dari tanah
    Jawa itu pun pulang. Ia ingin mendirikan sekolah sebagaimana dicita-
    citakan mendiang adiknya, Kartini. Ia juga ingin mendirikan perpustakaan.
    Untuk
    menghimpun modal, pada mulanya ia melamar menjadi koresponden The New York
    Herald untuk Hindia Belanda, tapi koran itu sudah berganti pemilik dan
    merger dengan koran lain.
    Namun, dalam suratnya kepada Nyonya Abendanon, Kartono menyatakan
    kekecewaannya. Sesampai di Jawa, ia telah dicap sebagai komunis oleh
    pemerintah jajahan. “Itu merupakan bentuk fitnah yang sangat keji yang
    saya rasakan, namun tidak berdaya terhadapnya,” tulis Kartono.
    “Tapi kepada Anda, Nyonya yang mulia, saya bersumpah atas kubur ayah saya
    dan Kartini, bahwa saya sama sekali tak pernah menganut paham komunis,
    dulu tidak, sekarang pun tidak. Tidak ada yang lebih saya inginkan
    daripada bekerja untuk pendidikan mental sesama bangsa saya, dalam artian
    yang telah dimaksudkan oleh Kartini,” ucap Kartono.
    Kartono kemudian menggalang dukungan dari kelompok pergerakan di
    Indonesia. Ia menemui Ki Hajar Dewantara. Bapak pendidikan itu lalu
    mempersilakan Kartono membangun perpustakaan di gedung Taman Siswa
    Bandung. Ia pun diangkat menjadi kepala Sekolah Menengah Nasional di kota
    ini.
    Pada saat yang bersamaan, ia menyaksikan orang-orang kelaparan dan
    diserang berbagai macam penyakit. Kartono pun kemudian menjalankan laku
    puasa bertahun-tahun untuk merasakan apa yang juga diderita
    saudara-saudaranya. Ia juga menjadikan Darussalam sebagai rumah
    pengobatan.
    Cerita air putih, Alif, dan wejangan-wejangan hidup dalam bahasa Jawa,
    kemudian mengalir dari sini dan menjelmakan Kartono sebagai seorang
    penyembuh. Walaupun tak memiliki murid, di kemudian hari Kartono memiliki
    “pengikut”. Paguyuban Sosrokartanan, komunitas pencinta
    Sosrokartono, kini telah ada di empat kota: Jakarta, Yogyakarta, Semarang,
    dan Surabaya. Di Yogyakarta, paguyuban ini juga membuka rumah pengobatan.
    Separuh badan Kartono lumpuh sejak 1942. Kartono mangkat pada 1952, tanpa
    meninggalkan istri dan anak. Ia dimakamkan di Sedo Mukti, Desa Kaliputu,
    Kudus, Jawa Tengah. Di sebelah kiri makam Kartono terdapat makam ibunya
    Nyai Ngasirah dan bapaknya RMA Sosroningrat.
    Di dinding pagar besi di makam Kartono, terpasang tulisan huruf Alif dalam
    bingkai kaca seukuran 10R. Di bawahnya terdapat foto Kartono mengenakan
    setelan jas ala orang Barat. Di nisan sebelah kiri, tercantum kata- kata
    terpilih Kartono: Sugih tanpa banda, digdaya tanpa aji. Di nisan sebelah
    kanan tercantum kalimat: Trimah mawi pasrah (rela menyerah terhadap
    keadaan yang telah terjadi), suwung pamrih tebih ajrih (jika tak berniat
    jahat, tidak perlu takut), langgeng tan ana susah tan ana bungah (tetap
    tenang, tidak kenal duka maupun suka), anteng manteng sugeng jeneng (diam
    sungguh-sungguh, maka akan selamat sentosa).

  • You might also like

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar